Tuesday, 13 November 2012

Puisi Yang Diikat Pita Biru

Puisi Yang Diikat Pita Biru 
(Cat,Moon,Quen Menali, Rainbow Hyena)
from: Nami Nightray Deathberry

I
Kupandang bening matamu,
di bawah derai hujan.
Langit terus menjulurkan halilintar.
Jantungku baru saja tertikam paramg,
terbunuh cinta tak adil.
Jubah embunmu membungkusku, dari tusukan hujan yang kubenci.
II
Namamu Menali, ratu dari istana keheningan.
Negerimu ada di balik rumpun bunga.
Saat subuh tiba, jubah embunmu berkilau
tertempa sinar matahari.
Ratu menali, mahkotamu adalah rangkaian melati.
Yang tumbuh di taman hati.
III
Menali, saat melihat kumpulan sajakmu,
aku ingin pandai berpuisi.
Kata Tuan Burung Hantu, datanglah ke negeri di kaki pelangi.
Ada hakikat puisi yang kau cari.
Tapi, hujan masih turun tiada ampun.
Sebelum pikiranku di tumbuhi jamur, angkatlah jubahmu.
Biar ku jemput mimpi di situ.

IV
Menali, aku harus pergi
ke negeri di kaki pelangi.
Saat langit melahirkan matahari, kumulai kisahku.
Tapi, aku kan pulang menemuimu lagi.

V
Pohon-pohon telah jauh tertinggal di belakangku.
Di depan masih ada jalan yang belum ku tempuh.
Aku mendengar suaramu terbawa angin,
menyurat pada dedaunan.
Ku titipkan pada kunang-kunang, jangan khawatir.
Jauh sebelum kuukir namamu, pada rumpun bunga,
yang di huni keluarga kelinci.
Ibu bulan sudah bersamaku.
Ia punya jubah sepertimu.
Tapi bertahta sejuta bintang.
Ganasnya badai musimgugur tak akan padamkan kobaran api di dadaku.
Kerap hujan menghalangi pandangan mataku.
Tapi, ibu bulan melindungiku dengan jubahnya.

VI
Menali...
Aku belum menemukan ruh puisi yang kucari.
Aku memang sampai di negeri pelangi.
Lihatlah,
ku ajak seekor hyena berbulu pelangi.
Di itu penjaga gerbang negeri di kaki pelangi.

Menali.,dia tak mau mengajari hakikat puisi,
justru menceritakan enggang dan pipa raja.

Benarkah kata ibu bulan,
Hyena ini makhluk bijaksana.

Dia menggigit tengkukku dengan taringnya,
menyuruhku pulang padamu.
Ku ajak saja dia pulang, agar ia jadi teman.

VII
Hyena berbulu pelangi, suka melihat matahari.
Berkali kudekati, ia tak mau bicara.
Terserah anda Tuan Hyena,

Duduklah di taman bunga, bermandi matahari.
Aku berdiri di belakangmu saja.
Diantara kelopak bunga yang berhamburan di bawa angin, kulihat ekormu.
Kalau di sini aku tak perlu sembunyi.
Karena kau tak akan bisa menggigitku.

VIII
Menali, maaf kupinjam mantelmu.
Harus ku cari ruh puisiku.
Kuterjang deras hujan, kumenangis saat badai menggelegar.
Hingga takdir berhenti di negeri berpasir putih.
Ia tanah milik ibu laut.

Jiwa ibu laut memanggilku,
ayo kubimbing temukan ruhmu.
Ibu laut, aku tak bisa bernafas di tempatmu.
Kuberikan seorang teman untukmu.

IX
Ikan orange muncul menyembul.
Ia menarikku membawa masuk ke dalam jiwa ibu laut.
Ibu laut lebih besar dari yang ku kira.
Semua penghuni lautan,
tinggal di dsalam jantungnya.

Kalau begitu sebesar apa mata, tangan, dan kakinya.

Ia meniupkan ruh untukku.
Dari bebatuan terumbu karang.
Itu ruhmu, carilah sendiri bentuknya.

Ikan badut, lihat ada gelembung dari senyuman di mulutku.
Kita akan bertemu lagi.
Terima kasih, jaga dirimu.
Agar burung pelikan tak memakanmu.

X
Ibu bulan, ruh puisi ku sudah ku genggam.
Aku tinggal meniupkannya di bait-bait aksara.
Nanti kubuatkan puisi untukmu.

Menali. kukembalkan mantelmu.

Hyena berbulu pelangi, jangan gigit kupingku lagi.
Akan kubaca enggang dan pipa.
Sampai kutemukan hakikat puisi.

Untuk Menali, ibu laut menitipkan mahkota.
yang terbuat dari air hujan.
Kenakanlah, tuk menyempurnakan kedudukanmu,
di istana keheningan.
Mungkin hujan, bisa menjadi melodi untukmu.

Lindungi aku dengan jubahmu.
Dari hujan yang ku benci.
Aku tak suka, bulu jingga ku basah lagi.
Seperti kemarin.

No comments:

Post a Comment